Samarinda, MR—Pernyataan Ketua Jaringan
Pemantau Penyelenggaraan Pendidikan (JP3) Kaltim Sentot Sudarto yang menyebut
guru kembali menjual lembar kerja siswa (LKS), dinilai sebagai informasi tak
sebenarnya. Di permukaan, memang gurulah yang menjual LKS. Namun hal itu tidak
akan terjadi jika bukan karena perintah kepala sekolah (Kepsek), yang menerima
perintah dari Disdik.
Seorang guru
senior wanita di sebuah SD di Samarinda Ulu menyebut, sangat naif bagi Kepala
Dinas Pendidikan (Disdik) Ibnu Araby mengatakan tidak tahu-menahu soal
penjualan LKS. Pertama, penjualan LKS berlangsung sejak beberapa tahun lalu.
Kedua, guru-guru tak akan berani menjual LKS jika bukan diperintah kepala
sekolah.
“Di sekolah saya pun begitu. Awalnya kami tak mau
menjual, tetapi kepala sekolah bilang ini perintah Pak Ibnu (Araby),” ujar guru
dengan pengalaman mengajar 25 tahun ini. Ia dan rekan sejawatnya sangat sedih,
menyusul adanya tudingan para guru sebagai penjual dan agen LKS. “Dari
penerbit, harganya Rp 8.000. Dijual kepada murid Rp 10.000, jadi keuntungan
tiap buku LKS hanya Rp 2.000,” jelasnya. Di sekolahnya, LKS yang beredar
mencakup 9 mata pelajaran.
Senada dengan guru SD di kawasan Sungai Kunjang. Guru
olahraga yang enggan identitasnya dikorankan ini mengatakan, awalnya penerbit
LKS melapor dan meminta izin terlebih dahulu kepada kepsek untuk
memperjualbelikan. Jika disetujui, barulah para wali kelas menjual kepada
murid.
“Biasanya dijual tiap semester, satu LKS dihargai Rp
10 ribu. Berhubung di sini ada 9 mata pelajaran, berarti ada 9 pula LKS. Kalau
tidak salah, untuk sekolah di Kecamatan Sungai Kunjang dianjurkan menggunakan
LKS dari penerbit yang sama ,” ujarnya. Dia menambahkan, yang mengelola
penjualan itu adalah kepsek dan guru mata pelajaran.
Menurut dia, buku paket maupun LKS keberadaannya
sama-sama penting. Melihat LKS komposisinya lebih banyak menyajikan soal, para
guru lebih banyak memakai itu. Kecuali jika soal yang di LKS tidak ditemukan
jawabannya, barulah dicari di buku paket. “Buku paket ‘kan cenderung ke arah
penyajian materi,” jelasnya.
Dia mengaku lebih sering menggunakan LKS, kecuali
lembaran halamannya sudah habis. Ketika itu, baru menggunakan buku paket,
terkadang selang-seling. Sejauh ini tidak ada keluhan dari orangtua. “Orangtua
murid tahu LKS itu penting. Banyak pekerjaan rumah dan soal ulangan diambil
dari situ,” katanya.
Sebelumnya, Jaringan Pemantau Penyelenggara Pendidikan
(JP3) Kaltim menyoroti sinyalemen guru sekolah negeri menjadi agen penerbit
LKS. Satu semester nilai penjualan mencapai Rp 12,6 miliar. Diduga LKS yang
beredar itu tidak mengantongi izin Dinas Pendidikan (Disdik) Kaltim maupun
Samarinda. Dia mengatakan, guru yang menjadi distributor tersebut mendapat
untung sebanyak 20-40 persen dari hasil penjualan satu LKS dari satu mata
pelajaran.
Namun, Kepala Disdik Samarinda Ibnu
Araby yang dikonfirmasi Kamis (7/2) menyebut belum mengetahui persoalan itu. Disdik
kata dia, tidak menginstruksikan adanya penyediaan LKS di sekolah se-Samarinda.
“Disdik tidak ada instruksi untuk pengadaan LKS, itu menjadi kewenangan setiap
sekolah,” ucapnya. (Sabarudin /Suwandy Ss)
إرسال تعليق