Pengalaman saya ini berdasarkan kisah nyata seorang caleg yang justru datang dari partai berbasiskan azas syariat Islam. Sehingga sudah sepantasnya sang caleg tahu bagaimana caranya dia membawa diri dalam bersosialisasi dan pada ujungnya berkampanye langsung dengan konstituennya.
Seperti halnya seorang gadis perawan yang baru pertama kali mengenal dunia pergaulan dewasa, caleg yang saya baru kenal 4 bulan terakhir ini memang masih kelihatan mulus dan sensual sebagai orang yang terjun ke dunia politik praktis. Saya mengenalnya sebagai caleg yang seperti gadis perawan baru pertama kali mengenal lawan jenisnya, sehingga ketika begitu banyak lelaki muda mulai dari yang alim dan pendiam hingga yang berandal dan berangasan serta agresif mencoba mendekatinya seolah sang caleg adalah piala yang pantas untuk diperebutkan dengan segala daya dan upaya, kalau perlu dengan cara paling kasar dan brutal sekalipun.
Sementara caleg yang masih saya anggap gadis remaja dengan penampilan kecantikan alami dengan keluguan dan kepolosannya ini terkadang secara tanpa sengaja membuka diri hingga terlihat bentuk tubuhnya bagian dalam yang seharusnya dia tutup agar tak mengundang setan untuk berdatangan hendak melampiaskan nafsunya.
Sang caleg yang terkadang lebih dominan luapan emosi dan gairahnya terjun ke dunia politik ini, seperti menginginkan pengakuan dari semua mata yang melihatnya, bahwa dirinya memang cantik dan pantas untuk menjadi ratu atau istri siapa saja yang mau meminangnya.
Penulis mengenal sang caleg yang mempunyai mata indah dalam melihat setiap calon konstituennya ini ternyata masih bisa tertipu dengan riak gelombang kilauan mutiara palsu di buihnya lautan.
"Set dah!" demikian kata sebagian orang-orang yang berada di sekelilingnya. Penulis juga mengamati, ternyata sebagian dari lelaki dan pemuda yang ada di sekitarnya masih ada yang melihatnya dengan nafsu terlihat dari air liur yang menetes deras saat sang caleg bak gadis remaja ini tanpa sengaja memperlihatkan bokongnya yang gemuk dan sintal karena dompetnya penuh berisi kartu ATM ataupun gepokan uang pecahan biru lima puluh ribuan ataupun pecahan merah seratus ribuan.
Tak bisa ditutupi dengan sandiwara cantik tampak jelas sekali para pemuda (relawan bermata liar di sekiling sang caleg) itu begitu besar hasratnya menggerayangi kulit mulus sang caleg dengan harapan bisa saja mereka menyentuhnya walau sebentar saja, sayangnya sang caleg seperti tak tahu atau malah tak peduli sama sekali. Mungkinkah dia justru menikmati kebuasan nafsu orang di sekitarnya itu sebagai bentuk nafsu erotisme tersendiri yang membuatnya melayang ke langit di musim kampanye politik yang kian panas membara ini?
Desahan-desahan nafsu yang keluar dari mulut para serigala lawan politiknya pun tak kalah seru dalam menambah panasnya masa kampanye di sekitar daerah pemilihan sang caleg yang memang dikenal cukup membara karena beberapa inkamben (incumbent) jelas-jelas masih mau ikutan bertanding dan berlomba penuh nafsu syahwat politik tanpa kecuali dari partai nasionalis maupun partai yang berbasis ajaran agama.
Penulis malah semakin miris memperhatikan pertarungan yang basah karena peluh ambisi dan syahwat politik ini. Betapa tidak, baik yang ingin dikenali maupun yang menghampiri mereka semua sama-sama bernafsu untuk bisa mendapatkan kenikmatan sesaat yang puncak orgasmenya sudah diketahui bersama pada tanggal 9 April 2014.
Beragam cara berkampanye yang secara etika sebenarnya bisa dibilang terlalu sensual dan mengundang birahi untuk selingkuh dengan sesama pemain politik. Entah orang lain bilang apa, sepanjang para caleg bahkan juga para capres masih saja tak malu membuka bajunya sehingga tampak jelas tubuh idealismenya yang polos tak mau lagi berpakaian lengkap berupa moral dan akhlak mulia.
Bertelanjang dada serta menepuk dadanya sendiri sebagai pembuktian inilah aku yang bisa memberikan kalian kepuasan tanpa batas meskipun semua orang mahfum, syahwat kampanye tak lebih lama daripada ejakulasi dini para caleg yang lebih sering beronani setiap hari dengan menerima asumsi para relawan atau pendukung di sekitarnya yang haus menggesek-gesekkan tangan mereka ke tubuhnya yang basah karena jilatan para anggota tim sukses. Untung saja penulis tidak termasuk yang suka menjilat pantat caleg, meskipun cantiknya selangit, bagi penulis pantat caleg jauh lebih layak untuk ditutupi karena itu aurat yang hanya pantas dilihat mahromnya saja.
Bukan maksud penulis untuk bertindak sok suci, dengan selalu mengingatkan mereka untuk lebih berhati-hati perlihatkan kelebihan dan keindahan dirinya pada semua orang, namun para caleg yang tampil setiap harinya bagai gadis belia cantik rupawan mengundang semua mata untuk melihat dan mengenalnya, terkandang masuk dalam euforia (euphoria) tak ada yang pantas untuk digelari "cantik seksi luar biasa" kecuali dirinya. Ini sangat berbahaya, dan bisa jadi ketika dirinya ternyata memang pantas diberi gelaran tersebut, maka pantas pula dia menjadi seorang wakil rakyat yang bisa duduk di dewan.
Namun sebaliknya jika dia gagal untuk membuktikan dirinya, maka akan banyak para lelaki hidung belang mendatanginya dan menganggapnya sebagai perempuan p\murahan yang bisa dibeli serta dinikmati keindahan tubuhnya sesaat kapan mereka bisa mendapatkannya dan menginginkannya. Sang caleg harus menyadari itu, tugasnya nanti bukan sebagai pelacur, tapi lebih kepada seorang calon umaro dan sebaiknya dia harus belajar banyak dari ulama agar dia tak tersungkurnjatuh ke lembah kemaksiyatan sebagai pelacur politik yang tak ada jalan kembali, kecuali kehancuran.
Banyak sudah caleg yang berhasil dan duduk di kursi dewan perwakilan rakyat, mulai dari tingkat terendah DPRD kota ataupun kabupaten, provinsi hingga DPR RI, dan akhirnya mereka terlanjur kebablasan menjadi hedonis dan sekaligus narsis memuji dirinya sebagai wakil rakyat yang dicintai dan jadi harapan puluhan bahkan ratusan ribu orang untuk bisa memberikan ketenangan, kenyamanan bahkan juga kenikmatan hakiki, namun ternyata setelah jalan beberapa tahun menjadi wakil rakyat harus berselingkuh dengan para penjudi yang mengajaknya untuk melacurkan dirinya membuat konspirasi syahwat terlarang sehingga baik langsung maupun tidak mereka telah mencurangi rakyat yang seharusnya dinafkahi dan dilindungi segala kepentingannya.
Penulis berharap caleg-caleg yang berhasil diwawancarai ini memang mempunyai komitmen diri yang kuat, meskipun dia sadar bahwa dirinya adalah gadis remaja yang sudah siap dipinang oleh sumpahnya sendiri kepada rakyat yang telah mendukungnya penuh agar bisa menjadi wakil mereka di dewan.
Penulis tak mampu membayangkan, bagaimana jika para gambler (penjudi) yang suka sekali mencari koneksi terlarang dengan para caleg dan bersedia memberinya sokongan finansial yang tak sedikit bahkan bisa mencapai milyaran kepada para caleg potensial dalam kampanye mendatang, dengan harapan mereka bisa menikmati tubuh molek "demokrasi" yang akan mereka setubuhi hingga tak bersisa setetes keringatpun buat kepentingan rakyat.
Jika hal itu terjadi, maka pelacuran tingkat tinggi yang melibatkan uang bukan cuma milyaran rupiah, tapi juga triliunan bahkan ribuan triliun menjadi taruhannya. Karena siapa yang bisa menghindar dari godaan setan berupa syahwat politik yang begitu besar tersingkap di saat pesta demokrasi tiap lima tahun ini. Seharusnya perhelatan pesta demokrasi yang bisa memperlihatkan kecantikan budi pekerti para cawara (calon wakil rakyat) bukannya malah membuka peluang untuk bertelanjang diri di media publik seperti internet, televisi bahkan juga memasang foto seksi telanjang di pohon-pohon, tiang listrik maupun tembok pinggiran jalan.
Apa bedanya para caleg dengan mereka yang menjajakan diri di pinggir jalan maupun para prostitusi tingkat tinggi yang selalu narsis memuji diri di televisi dan koran maupun tabloid dan majalah jika bukan karena komitmen mereka untuk setia pada janji yang selalu jadi harapan para pemilihnya untuk bisa membela kepentingan mereka di dalam penentuan kebijakan pemerintahan.
Cerita panas ini tak akan berakhir indah dan memuaskan jika Anda berharap bahwa para caleg adalah pelacur yang bisa anda manfaatkan untuk memuaskan nafsu syahwat politik yang datangnya hanya setiap lima tahun sekali. Bagi penulis para caleg mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa membuktikan dirinya adalah bukan pelacur politik yang bisa dibayar murah dengan menjual suara kita kepada cukong dan bandar judi politik yang selalu menggerayangi tubuh mulus anggota dewan di gedung DPRD dan DPR RI sana.
Mari kita pilih caleg yang sudah jelas dia mau memberikan kesuciannya berupa niat tulus membantu rakyat, bukan sekadar janji manis dengan mempertontonkan auratnya kepada kita tapi kentang, alias nanggung tak tuntas membuktikan janjinya agar semua rakyat bisa terpuaskan keinginan dan kebutuhannya. Lalu bagaimana caranya agar hubungan ini menjadi halal dan sesuai perintah agama? ya iktui saja kaidah pemilu yang jujur dan adil, jangan kita sebagai rakyat tergiur dengan godaan serta kerlingan maut yang tersembunyi di dalam amplop putih berisi lembaran merah atau biru yang ditebar oleh para caleg dengan maksud mau membayar suara kita.
Jika hal itu terjadi, maka terima saja uangnya ang tak seberapa dan tak bernilai itu, pilihlah caleg yang sudah kita kenal dan jelas-jelas berbuat sesuatu sebelum duduk di dewan, kalau bisa pilihlah pula para caleg yang sudah berumur matang dalam artian dewasa dan berprinsip "Saya sudah tua dan sebentar lagi mati. Ngapain saya belagak dan bergaya jadi perempuan cantik yang mengejar kenikmatan dunia, jika saya akan mati dan hanya bisa membawa amal baik berupa pengabdian tanpa pamrih kepada publik sebagai tugas saya yang diembankan karena semata pemberian Allah yang nantinya harus saya pertanggungjawabkan di akhirat. Amit-amit kalau saya jadi pelacur politik," ujar seorang caleg yang saya kenal dan dia memang sudah pantas menjadi anggota dewan pada tahun 2014 ini. Semoga yang seperti ini akan jadi pemenang dan mayoritas bisa duduk di kursi dewan sana.
Sidik Rizal, pemerhati dunia politik kampanye pemilu
Seperti halnya seorang gadis perawan yang baru pertama kali mengenal dunia pergaulan dewasa, caleg yang saya baru kenal 4 bulan terakhir ini memang masih kelihatan mulus dan sensual sebagai orang yang terjun ke dunia politik praktis. Saya mengenalnya sebagai caleg yang seperti gadis perawan baru pertama kali mengenal lawan jenisnya, sehingga ketika begitu banyak lelaki muda mulai dari yang alim dan pendiam hingga yang berandal dan berangasan serta agresif mencoba mendekatinya seolah sang caleg adalah piala yang pantas untuk diperebutkan dengan segala daya dan upaya, kalau perlu dengan cara paling kasar dan brutal sekalipun.
Sementara caleg yang masih saya anggap gadis remaja dengan penampilan kecantikan alami dengan keluguan dan kepolosannya ini terkadang secara tanpa sengaja membuka diri hingga terlihat bentuk tubuhnya bagian dalam yang seharusnya dia tutup agar tak mengundang setan untuk berdatangan hendak melampiaskan nafsunya.
Sang caleg yang terkadang lebih dominan luapan emosi dan gairahnya terjun ke dunia politik ini, seperti menginginkan pengakuan dari semua mata yang melihatnya, bahwa dirinya memang cantik dan pantas untuk menjadi ratu atau istri siapa saja yang mau meminangnya.
Penulis mengenal sang caleg yang mempunyai mata indah dalam melihat setiap calon konstituennya ini ternyata masih bisa tertipu dengan riak gelombang kilauan mutiara palsu di buihnya lautan.
"Set dah!" demikian kata sebagian orang-orang yang berada di sekelilingnya. Penulis juga mengamati, ternyata sebagian dari lelaki dan pemuda yang ada di sekitarnya masih ada yang melihatnya dengan nafsu terlihat dari air liur yang menetes deras saat sang caleg bak gadis remaja ini tanpa sengaja memperlihatkan bokongnya yang gemuk dan sintal karena dompetnya penuh berisi kartu ATM ataupun gepokan uang pecahan biru lima puluh ribuan ataupun pecahan merah seratus ribuan.
Tak bisa ditutupi dengan sandiwara cantik tampak jelas sekali para pemuda (relawan bermata liar di sekiling sang caleg) itu begitu besar hasratnya menggerayangi kulit mulus sang caleg dengan harapan bisa saja mereka menyentuhnya walau sebentar saja, sayangnya sang caleg seperti tak tahu atau malah tak peduli sama sekali. Mungkinkah dia justru menikmati kebuasan nafsu orang di sekitarnya itu sebagai bentuk nafsu erotisme tersendiri yang membuatnya melayang ke langit di musim kampanye politik yang kian panas membara ini?
Desahan-desahan nafsu yang keluar dari mulut para serigala lawan politiknya pun tak kalah seru dalam menambah panasnya masa kampanye di sekitar daerah pemilihan sang caleg yang memang dikenal cukup membara karena beberapa inkamben (incumbent) jelas-jelas masih mau ikutan bertanding dan berlomba penuh nafsu syahwat politik tanpa kecuali dari partai nasionalis maupun partai yang berbasis ajaran agama.
Penulis malah semakin miris memperhatikan pertarungan yang basah karena peluh ambisi dan syahwat politik ini. Betapa tidak, baik yang ingin dikenali maupun yang menghampiri mereka semua sama-sama bernafsu untuk bisa mendapatkan kenikmatan sesaat yang puncak orgasmenya sudah diketahui bersama pada tanggal 9 April 2014.
Beragam cara berkampanye yang secara etika sebenarnya bisa dibilang terlalu sensual dan mengundang birahi untuk selingkuh dengan sesama pemain politik. Entah orang lain bilang apa, sepanjang para caleg bahkan juga para capres masih saja tak malu membuka bajunya sehingga tampak jelas tubuh idealismenya yang polos tak mau lagi berpakaian lengkap berupa moral dan akhlak mulia.
Bertelanjang dada serta menepuk dadanya sendiri sebagai pembuktian inilah aku yang bisa memberikan kalian kepuasan tanpa batas meskipun semua orang mahfum, syahwat kampanye tak lebih lama daripada ejakulasi dini para caleg yang lebih sering beronani setiap hari dengan menerima asumsi para relawan atau pendukung di sekitarnya yang haus menggesek-gesekkan tangan mereka ke tubuhnya yang basah karena jilatan para anggota tim sukses. Untung saja penulis tidak termasuk yang suka menjilat pantat caleg, meskipun cantiknya selangit, bagi penulis pantat caleg jauh lebih layak untuk ditutupi karena itu aurat yang hanya pantas dilihat mahromnya saja.
Bukan maksud penulis untuk bertindak sok suci, dengan selalu mengingatkan mereka untuk lebih berhati-hati perlihatkan kelebihan dan keindahan dirinya pada semua orang, namun para caleg yang tampil setiap harinya bagai gadis belia cantik rupawan mengundang semua mata untuk melihat dan mengenalnya, terkandang masuk dalam euforia (euphoria) tak ada yang pantas untuk digelari "cantik seksi luar biasa" kecuali dirinya. Ini sangat berbahaya, dan bisa jadi ketika dirinya ternyata memang pantas diberi gelaran tersebut, maka pantas pula dia menjadi seorang wakil rakyat yang bisa duduk di dewan.
Namun sebaliknya jika dia gagal untuk membuktikan dirinya, maka akan banyak para lelaki hidung belang mendatanginya dan menganggapnya sebagai perempuan p\murahan yang bisa dibeli serta dinikmati keindahan tubuhnya sesaat kapan mereka bisa mendapatkannya dan menginginkannya. Sang caleg harus menyadari itu, tugasnya nanti bukan sebagai pelacur, tapi lebih kepada seorang calon umaro dan sebaiknya dia harus belajar banyak dari ulama agar dia tak tersungkurnjatuh ke lembah kemaksiyatan sebagai pelacur politik yang tak ada jalan kembali, kecuali kehancuran.
Banyak sudah caleg yang berhasil dan duduk di kursi dewan perwakilan rakyat, mulai dari tingkat terendah DPRD kota ataupun kabupaten, provinsi hingga DPR RI, dan akhirnya mereka terlanjur kebablasan menjadi hedonis dan sekaligus narsis memuji dirinya sebagai wakil rakyat yang dicintai dan jadi harapan puluhan bahkan ratusan ribu orang untuk bisa memberikan ketenangan, kenyamanan bahkan juga kenikmatan hakiki, namun ternyata setelah jalan beberapa tahun menjadi wakil rakyat harus berselingkuh dengan para penjudi yang mengajaknya untuk melacurkan dirinya membuat konspirasi syahwat terlarang sehingga baik langsung maupun tidak mereka telah mencurangi rakyat yang seharusnya dinafkahi dan dilindungi segala kepentingannya.
Penulis berharap caleg-caleg yang berhasil diwawancarai ini memang mempunyai komitmen diri yang kuat, meskipun dia sadar bahwa dirinya adalah gadis remaja yang sudah siap dipinang oleh sumpahnya sendiri kepada rakyat yang telah mendukungnya penuh agar bisa menjadi wakil mereka di dewan.
Penulis tak mampu membayangkan, bagaimana jika para gambler (penjudi) yang suka sekali mencari koneksi terlarang dengan para caleg dan bersedia memberinya sokongan finansial yang tak sedikit bahkan bisa mencapai milyaran kepada para caleg potensial dalam kampanye mendatang, dengan harapan mereka bisa menikmati tubuh molek "demokrasi" yang akan mereka setubuhi hingga tak bersisa setetes keringatpun buat kepentingan rakyat.
Jika hal itu terjadi, maka pelacuran tingkat tinggi yang melibatkan uang bukan cuma milyaran rupiah, tapi juga triliunan bahkan ribuan triliun menjadi taruhannya. Karena siapa yang bisa menghindar dari godaan setan berupa syahwat politik yang begitu besar tersingkap di saat pesta demokrasi tiap lima tahun ini. Seharusnya perhelatan pesta demokrasi yang bisa memperlihatkan kecantikan budi pekerti para cawara (calon wakil rakyat) bukannya malah membuka peluang untuk bertelanjang diri di media publik seperti internet, televisi bahkan juga memasang foto seksi telanjang di pohon-pohon, tiang listrik maupun tembok pinggiran jalan.
Apa bedanya para caleg dengan mereka yang menjajakan diri di pinggir jalan maupun para prostitusi tingkat tinggi yang selalu narsis memuji diri di televisi dan koran maupun tabloid dan majalah jika bukan karena komitmen mereka untuk setia pada janji yang selalu jadi harapan para pemilihnya untuk bisa membela kepentingan mereka di dalam penentuan kebijakan pemerintahan.
Cerita panas ini tak akan berakhir indah dan memuaskan jika Anda berharap bahwa para caleg adalah pelacur yang bisa anda manfaatkan untuk memuaskan nafsu syahwat politik yang datangnya hanya setiap lima tahun sekali. Bagi penulis para caleg mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa membuktikan dirinya adalah bukan pelacur politik yang bisa dibayar murah dengan menjual suara kita kepada cukong dan bandar judi politik yang selalu menggerayangi tubuh mulus anggota dewan di gedung DPRD dan DPR RI sana.
Mari kita pilih caleg yang sudah jelas dia mau memberikan kesuciannya berupa niat tulus membantu rakyat, bukan sekadar janji manis dengan mempertontonkan auratnya kepada kita tapi kentang, alias nanggung tak tuntas membuktikan janjinya agar semua rakyat bisa terpuaskan keinginan dan kebutuhannya. Lalu bagaimana caranya agar hubungan ini menjadi halal dan sesuai perintah agama? ya iktui saja kaidah pemilu yang jujur dan adil, jangan kita sebagai rakyat tergiur dengan godaan serta kerlingan maut yang tersembunyi di dalam amplop putih berisi lembaran merah atau biru yang ditebar oleh para caleg dengan maksud mau membayar suara kita.
Jika hal itu terjadi, maka terima saja uangnya ang tak seberapa dan tak bernilai itu, pilihlah caleg yang sudah kita kenal dan jelas-jelas berbuat sesuatu sebelum duduk di dewan, kalau bisa pilihlah pula para caleg yang sudah berumur matang dalam artian dewasa dan berprinsip "Saya sudah tua dan sebentar lagi mati. Ngapain saya belagak dan bergaya jadi perempuan cantik yang mengejar kenikmatan dunia, jika saya akan mati dan hanya bisa membawa amal baik berupa pengabdian tanpa pamrih kepada publik sebagai tugas saya yang diembankan karena semata pemberian Allah yang nantinya harus saya pertanggungjawabkan di akhirat. Amit-amit kalau saya jadi pelacur politik," ujar seorang caleg yang saya kenal dan dia memang sudah pantas menjadi anggota dewan pada tahun 2014 ini. Semoga yang seperti ini akan jadi pemenang dan mayoritas bisa duduk di kursi dewan sana.
Sidik Rizal, pemerhati dunia politik kampanye pemilu
إرسال تعليق