iklan banner gratis
iklan banner Cagub Jabar
Pasang Iklan Running Text Anda di sini atau bisa juga sebagai iklan headliner di atas (600x100)px

Haji Dengan Visa Palsu, Apakah Hukumnya Dalam Islam?

Saat Negara Berani Melobi Otoritas Arab Saudi Terkait Jumlah Jemaah Yang Akan Diberangkatkan, Harus Sama Dengan Yang Didaftarkan

jabar-online.com, Sabtu, 8 Juni 2024, 19:28 WIB, UmFah

JAKARTA, JabarOL — BEREDAR di media sosial, sejumlah nama Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah diamankan oleh Askar atau pihak keamanan Arab Saudi karena mereka memiliki paspor yang berbeda-beda dan disebut jemaah haji ilegal.

Menyelenggarakan pelayanan haji tentu membutuhkan perencanaan matang, dari mulai perencanaan, pemberangkatan, pelaksanaan hingga kepulangan. Kondisi ini menuntut koordinasi yang tidak sederhana dan komunikasi lintas negara.

Bagi kaum muslim, ini merupakan salah satu permasalahan penting dan mendasar.


Penyelenggaraan haji oleh negara merupakan salah satu bagian dari pelayanan negara kepada rakyat, harus dengan prinsip pelayanan yang cepat, sederhana, dan profesional.

Demikian pula saat negara berani melobi otoritas Arab Saudi terkait dengan jumlah jemaah yang akan diberangkatkan, harus sama dengan yang didaftarkan.

Jangan sampai kasus haji ilegal muncul, akhirnya menimbulkan masalah.


Haji ilegal muncul bisa jadi berbagai faktor, diantaranya karena mahalnya ongkos haji sehingga ada jama’ah umroh yang tidak pulang lagi sampai datangnya musim haji. Bisa juga karena lamanya masa tunggu haji sampai puluhan atau belasan tahun sehingga ada yang ingin berangkat secara cepat menggunakan paspor selain haji.

Bisa juga ada pengelola KBIH yang melakukan praktik pemberangkatan haji dengan menggunakan paspor selain haji. Itu semua menunjukan mismanagement pengelolaan yang seharusnya dilakukan negara dalam memfasilitasi ibadah haji rakyatnya dan akibat dari penerapan sistem kapitalisme di dunia yang membuat adanya sekat-sekat negara bangsa.
Pelayanan Haji dalam Islam.

Islam memiliki konsep kenegaraan yang khas dengan menjadikan penguasa sebagai pengurus sekaligus pelindung rakyat, termasuk memudahkan rakyat melaksananakan ibadah haji sebagai bagian dari rukun Islam, baik dari aspek paradigma dan tataran taktisnya.

Baca juga: Ditanya tentang Cawalkot Bekasi, HerKos: Pemimpin yang Dipilih itu Tergantung Bagaimana Karakter Rakyatnya yang Dipimpin


Paradigma dalam sistem Islam berpijak pada prinsip pengaturan urusan umat (ri’ayatus syu’unil ummah) dan pelindung rakyatnya (junnah).

Pengurus bermakna memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan rakyat secara merata dan adil. Adapun sebagai pelindung/perisai, maka negara berada di garda terdepan dalam memberikan perlindungan terhadap semua rakyat.

Dalam tataran taktisnya, negara harus menyelenggarakan pelayanan ibadah haji dengan cepat dan sederhana dengan dibantu tenaga profesional di setiap aspek penyelenggaraan sehingga memberikan pelayanan maksimal dan terbaik bagi semua jemaah haji.


Dalam implementasinya, negara berperan secara penuh dalam memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar para jemaah haji. Diantaranya membentuk tim khusus berupa departemen yang mengurus urusan haji, secara desentralisasi dari pusat hingga ke daerah.


Departemen ini bekerja sama dengan departemen lainnya, seperti Departemen Perhubungan untuk urusan transportasi massal dan tenaga yang dibutuhkan jemaah di lapangan, termasuk Departemen Kesehatan untuk mengurus kesehatan jemaah. Seluruh departemen bekerjasama dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Kesatuan wilayah umat Islam menjadikan seluruh jemaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa.


Mereka hanya menunjukkan kartu identitas, seperti KTP atau paspor. Adapun visa hanya berlaku untuk kaum muslim yang menjadi warga negara Darul Kufur, baik kafir harbi hukman maupun fi’lan.

Pada masa Kekhalifahan ‘Abbasiyyah misalnya, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun jalur untuk jemaah haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah).


Di tiap titik keberangkatan dibangun pos layanan umum yang menyediakan berbagai kebutuhan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

Pada masa Utsmaniyah, Sultan ‘Abdul Hamid II juga membangun sarana transportasi yang  murah dan secara massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk membawa jemaah haji.

Semuanya tercatat dengan tinta emas sejarah peradaban Islam yang gemilang.


Khatimah
Pelayanan dan pelaksanaan ibadah haji berkualitas akan kembali dirasakan oleh umat Islam, jika kembali pada pengaturan syariat Islam secara menyeluruh.

Kendala pembiayaan, pengadaan transportasi, akomodasi, logistik, dan sebagainya, akan tereliminasi dengan penerapan sistem ekonomi, keuangan, dan moneter Islam.

Baitulmal memiliki pendanaan yang  melimpah ruah untuk pembiayaan negara dari sumber-sumber pendapatan yang sangat besar dan beragam.

Penulis: Ummu Fahhala
Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Paslon Walikota Nomor Urut 2, BUMN

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama
banner